sumber Foto: karyapemudakampung.blogspot.com

Radikalisme dan Lemahnya Peran Pemerintah

Beberapa waktu yang lalu, masyarakat Indonesia dikejutkan oleh pemberitaan tertangkapnya 16 warga negara Indonesia yang di duga akan bergabung dengan  kelompok radikal Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Ke-16 WNI ini ditangkap di Turki sebelum memasuki wilayah Suriah. Peristiwa ini menambah daftar warga Indonesia yang telah maupun akan bergabung ke dalam kelompok radikal tersebut.

Berdasarkan data pemerintah, saat ini terdapat 514 WNI yang diduga telah ikut dalam ISIS. Bahkan data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyebutkan terdapat 10 kelompok radikal di Indonesia yang mendukung ISIS. Bergabungnya warga negara Indonesia serta dukungan kelompok jaringan radikal di Indonesia terhadap ISIS, jelas mengundang kekhawatiran terhadap meningkatnya radikalisme di Indonesia.

Ciri-ciri gerakan radikal sendiri yaitu, pertama mempunyai keyakinan fanatik yang mereka perjuangkan untuk menggantikan tatanan nilai dan sistem yang sedang berlangsung. Kedua, seringkali menggunakan aksi-aksi yang keras, bahkan tidak menutup kemungkinan kasar terhadap kelompok lain yang dinilai bertentangan dengan keyakinan mereka. Ketiga, secara sosio-kultural dan sosio-religius, kelompok radikal mempunyai ikatan kelompok yang kuat dan menampilkan ciri-ciri penampilan diri dan ritual yang khas. Keempat, kelompok radikal seringkali bergerak  secara bergerilya, walaupun banyak juga yang bergerak secara terang-terangan (Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, 2004).

Penulis melihat ada beberapa faktor yang menyebabkan berkembangnya paham radikal di Indonesia. Banyak faktor yang melahirkan gerakan radikal tumbuh dan berkembang.  Diantaranya adalah pertama, belum ada sinergitas antara pusat dan daerah dalam menghadapi perkembangan radikalisme. Pencegahan dan penanggulangan radikalisme lebih banyak dilakukan oleh pemerintah pusat.

Padahal seperti yang kita ketahui banyak para WNI yang masuk dalam kelompok ISIS berasal dari daerah-daerah. Banyak pemerintah daerah yang belum memprioritaskan agenda deradikalisme di dalam program-program pembangunan daerahnya. Program-program pembangunan yang menjawab kemiskinan dan keadilan setidaknya akan meminimalisir berkembangnya pengaruh pemahaman radikal.

Kepala daerah harus menyadari bahwa pembiaran persoalan radikalisme akan berujung pada terganggunya ketentraman dan ketertiban di daerah tersebut. Ketika ketentraman dan ketertiban daerah terganggu maka pelayan publik dan pembangunan daerah akan terhambat, sehingga masyarakat akan menjadi korban.

Kedua, masih belum tegasnya penegakan hukum dalam penanganan persoalan yang berlatar belakang agama di Indonesia. Di satu sisi pemerintah tidak tegas menindak pelaku intoleransi terhadap kelompok minoritas. Namun di sisi yang lain juga tidak tegas juga dalam menindak kelompok-kelompok yang diduga menyebarkan pemahaman radikal. Seharusnya pemerintah dapat secara tegas dalam menegakkan hukum sesuai dengan prinsip keadilan, kebhinekaan dan kesetaraan. Penegakkan hukum ditujukan kepada siapapun yang melakukan pelanggaran apapun agama dan keyakinannya.

Ketiga, lemahnya pendidikan multikultural di masyarakat. Saat ini tidak ada daerah-daerah di Indonesia yang homogen. Hampir seluruh daerah di Indonesia  berubah menjadi heterogen. Akan tetapi perubahan cepat ini tidak diikuti oleh perubahan cara pandang masyarakat. Hal inilah yang menjadi lahan subur bagi penyebaran paham radikal. Dimana radikalisme bersumber pada sempitnya wawasan dan diikuti oleh pendekatan pemikiran yang tekstualis.  Pandangan yang tekstualis tersebut, kemudian terideologisasi melalui referensi otoritas keagamaan yang hegemonistik. Saat ini perkembangan pemahaman radikal telah masuk ke ruang-ruang pendidikan, sehingga mengancam generasi muda Indonesia.

Padahal bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, yang didirikan dari  berbagai macam suku, agama, ras, dan etnik. Oleh karena itu diperlukan pendidikan multikultural di sekolah dan perguruan tinggi yang mengajarkan penghargaan terhadap keragaman budaya, etnis, suku dan agama. Penghormatan dan penghargaan seperti ini merupakan sikap yang sangat urgen untuk disosialisasikan kepada masyarakat terutama generasi muda.

Arfianto Purbolaksono – Peneliti Bidang Politik The Indonesian Institute arfianto@theindonesianinstitute.com

Komentar