Polemik Pengosongan Kolom Agama Dalam KTP

Arfianto Purbolaksono- Peneliti Bidang Politik, The Indonesian Institute.

Arfianto Purbolaksono- Peneliti Bidang Politik, The Indonesian Institute.

Pengosongan kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang diutarakan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo menuai polemik. Tjahjo Kumolo mengatakan membolehkan pengosongan kolom agama di Kartu Tanda Penduduk Elektronik  (e-KTP), dengan catatan bahwa agama atau kepercayaan individu yang bersangkutan bukanlah termasuk agama yang diakui secara resmi oleh pemerintah Republik Indonesia (RI).

Pendapat Tjahjo Kumolo ini kemudian menuai kritikan dari dari beberapa kalangan. Politisi Partai Keadilan Sejahtera yang juga menjabat Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah menyatakan tidak setuju atas wacana pengosongan kolom agama bagi WNI penganut kepercayaan yang belum diakui secara resmi oleh pemerintah. Fahri mengatakan, kebijakan pengosongan kolom agama bagi penganut kepercayaan lebih cocok diterapkan di negara Barat. Sementara kolom agama di negara Timur sangat penting, yakni sebagai identitas warga negara.

Sejalan dengan Fahri, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon menyangsikan urgensi dari wacana tersebut. Fadli Zon menilai wacana ini berpotensi meningkatkan jumlah atheis dan aliran-aliran kepercayaan lainnya yang mungkin tak sejalan dengan Pancasila.

Pendapat yang disampaikan Tjahjo Kumolo sebenarnya merupakan isi dari Pasal 64 ayat 5, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 sebagai perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Dimana dalam pasal tersebut disebutkan elemen data penduduk tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.

Di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 disebutkan bahwa agama yang dicantumkan dalam e-KTP adalah agama resmi yang diakui Pemerintah yakni Islam, Kristen, Protestan, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Chu. Sedangkan penganut ajaran kepercayaan yang belum diakui secara resmi oleh pemerintah boleh mengosongkan kolom agama yang tertera di e-KTP. Artinya warga negara Indonesia yang memeluk kepercayaan seperti Kejawen, Sunda Wiwitan, Kaharingan, dan Malim, boleh mengosongan kolom agama mereka.

Menurut penulis persoalan kolom KTP merupakan salah satu diskriminasi terhadap berkeyakinan di Indonesia. Dimana pemaksaan kepada pemeluk kepercayaan dengan mencantumkan agama yang bukan kepercayaan mereka pada kolom agama di KTP adalah pengingkaran terhadap hak asasi manusia. Hal ini bertentangan dengan UU No 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia di dalam pasal 22 ayat 1 setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamnya dan kepercayaanya itu. Dan ayat 2, yang menyatakan negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu.

Seperti yang kita ketahui bahwa diskriminasi dan intoleransi terhadap kelompok minoritas masih menguat di Indonesia. Laporan The Wahid Institute menyebutkan di tahun 2013 terdapat 245 kasus pelanggaran terhadap kebebasan beragama/ berkeyakinan atau intoleransi (The Wahid Institute, 2014).

Kemudian menurut Indeks Negara Hukum Tahun 2013 yang dirilis Indonesia Legal Roundtable tentang implementasi jaminan perlindungan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan secara keseluruhan mendapatkan skor 4,59. Artinya di Indonesia masih terjadi pertama, pelanggaran terhadap hak kebebasan beragama dan berkeyakinan selama tahun 2013; kedua, masih adanya diskriminasi aparat penegak hukum termasuk lembaga peradilan ketika menghadapi kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan; dan ketiga, masih adanya diskiriminasi bagi kelompok agama atau kepercayaan minoritas dalam mengakses hak atas identitas, hak atas pendidikan, kesehatan dan pekerjaan yang layak (Indonesia Legal Roundtable, 2014).

Oleh karena itu penulis menilai kebijakan untuk mengosongkan kolom agama di KTP merupakan jalan tengah untuk menghindari diskriminasi bagi pemeluk kepercayaan yang minoritas di Indonesia. Akan tetapi hal ini belum lah cukup bagi pemerintah untuk melindungi kelompok minoritas. Pemerintah harus segera  membentuk peraturan perundangan yang komprehensif guna mengatur perlindungan berkeyakinan di Indonesia.

Arfianto Purbolaksono- Peneliti Bidang Politik, The Indonesian Institute. arfianto@theindonesianinstitute.com

Komentar